Jumat, 07 Oktober 2011

DEMAM BERDARAH ATAU DEMAM TIFUS


 DEMAM BERDARAH DENGUE SERINGKALI DIANGGAP SEBAGAI DEMAM TIFUS KARENA
  • TERKECOH OLEH HASIL WIDAL, KARENA PENDERITA DBD PADA KELOMPOK ORANG TERTENTU SERINGKALI NILAI WIDALNYA TINGGI. SERINGKALI DIANGGAP PENYAKIT TERSEBUT KEDUANYA TERJADI BERSAMAAN TETAPI SEBUAH PENELITIAN MENUNJUKKAN BAHWA PENDERITA DBD DENGAN HASIL WIDAL YANG TINGGI SEBAGIAN BESAR HASIL KULTUR DARAH SALMONELA NEGATIF (GOLD STANDARD DAN DIAGNOSIS PASTI TIFUS).
  •  DBD JUGA SERING MENGALAMI GANGGUAN SALURAN CERNA SEPERTI NYERI PERUT , MUNTAH, DIARE
  • PENYAKIT DEMAM DENGUE SERINGKALI DIANGGAP SEPERTI TIFUS KARENA HASIL TROMBOSIT TURUN TIDAK TERLALU JAUH TETAPI HASIL WIDALNYA TINGGI
CIRI KHAS YANG DAPAT DIBEDAKAN ADALAH KARAKTERISTIK PERJALAN DEMAMNYA:
  • DEMAM BERDARAH DENGUE ATAU DEMAM DENGUE : DEMAM MENDADAK TINGGI HARI I-III (DI ATAS 38,5 C), SAAT HARI KE III TURUN ATAU HARI KE 4-5 NAIK TAPI TIDAK TERLALU TINGGI (DI BAWAH 38,5 c) (POLA PENURUNAN ANAK TANGGA , DBD POLA PELANA KUDA)
  • DEMAM TIFUS :  PADA HARI I-II TIDAK TERLALU TINGGI TETAPI HARI KE 3 – 5 SEMAKIN TINGGI (DI ATAS 38,5 C) (POLA KENAIKKAN ANAK TANGGA)
ILUSTRASI KASUS
  • Seringkali didapatkan bahwa penderita demam berdarah awalnya didiagnosis tifus sehingga terlambat dalam penanganannya. Atau penderita demam dengue yang ringan seringkali juga divonis sebagai gejala tifus. Benarkah seseorang dapat mengidap 2 infeksi yang bersamaan.
  • Pengalaman tersebut di atas tampaknya cukup sering terjadi di Indonesia. Banyak terjadi ”overdiagnosis” penyakit tifus artinya didiagnosis penyakit tifus tetapi belum tentu benar mengalami penyakit tifus. Hal ini terjadi karena pemeriksaan widal yang sering dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis penyakit tifus ternyata sensitifitas dan spesifitasnya tidak tinggi. Atau kesalahan interpretasi hasil laboratorium sering terjadi, seringkali widal H naik padahal widal H bukan petujuk tifus.
LATAR BELAKANG
  • Demam tifus dan demam berdarah masih merupakan masalah kesehatan yang penting di negara berkembang, termasuk Indonesia. Gambaran klinis demam tifus dan demam berdarahpada awalnya n seringkali tidak spesifik terutama pada anak sehingga dalam penegakan diagnosis diperlukan konfirmasi pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan penunjang ini meliputi pemeriksaan darah tepi, isolasi/biakan kuman, uji serologis dan identifikasi secara molekuler.
  • Keluhan dan gejala Demam Tifus dan Demam berdarah  tidak khas, dan bervariasi dari gejala seperti flu ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ. Secara klinis gambaran penyakit Demam Tifus berupa demam berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan susunan saraf pusat.
  • Berbagai metode diagnostik baru untuk pengganti uji Widal dan kultur darah sebagai metode konvensional masih kontroversial dan memerlukan penelitian lebih lanjut.
  • Beberapa metode diagnostik yang cepat, mudah dilakukan dan terjangkau harganya untuk negara berkembang dengan sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik, seperti uji TUBEXâ, Typhidot-Mâ dan dipstik mungkin dapat mulai dirintis penggunaannya di Indonesia
  • Benarkah penderita DBD daya tahan tubuhnya menurun kemudian terinfeksi penyakit tifus ?

DEMAM TIFUS
  • Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.
  • Beberapa faktor penyebab demam tifoid masih terus menjadi masalah kesehatan penting di negara berkembang meliputi pula keterlambatan penegakan diagnosis pasti. Penegakan diagnosis demam tifoid saat ini dilakukan secara klinis dan melalui pemeriksaan laboratorium. Diagnosis demam tifoid secara klinis seringkali tidak tepat karena tidak ditemukannya gejala klinis spesifik atau didapatkan gejala yang sama pada beberapa penyakit lain pada anak, terutama pada minggu pertama sakit. Hal ini menunjukkan perlunya pemeriksaan penunjang laboratorium untuk konfirmasi penegakan diagnosis demam tifoid.
  • Berbagai metode diagnostik masih terus dikembangkan untuk mencari cara yang cepat, mudah dilakukan dan murah biayanya dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Hal ini penting untuk membantu usaha penatalaksanaan penderita secara menyeluruh yang juga meliputi penegakan diagnosis sedini mungkin dimana pemberian terapi yang sesuai secara dini akan dapat menurunkan ketidaknyamanan penderita, insidensi terjadinya komplikasi yang berat dan kematian serta memungkinkan usaha kontrol penyebaran penyakit melalui identifikasi karier.
METODE DIAGNOSIS
  • Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh.
MANIFESTASI KLINIS
  • Manifestasi klinis demam tifoid pada anak seringkali tidak khas dan sangat bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja.
  • Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada S. typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria. Namun demikian demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S. typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM PENUNJANG
  • Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : pemeriksaan darah tepi; pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; uji serologis; dan pemeriksaan kuman secara molekuler.
IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI ISOLASI / BIAKAN
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi jumlah darah yang diambil; perbandingan volume darah dari media empedu; dan waktu pengambilan darah.
IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI UJI SEROLOGIS
  • Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.4 Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : uji Widal; tes TUBEX®; metode enzyme immunoassay (EIA), metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA),dan pemeriksaan dipstik.
  • Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).
  • Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
  • Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.
    Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
  • Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.
  • Metode Enzyme Immunoassay Dot didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.4
  • Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif.2,8 Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
  • Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.
  • Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.
  • Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
    Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
  • Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
  • Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.
DEMAM BERDARAH DENGUE
Salah satu varian klinik infeksi virus dengue, yang ditandai oleh gejala panas 2- 7 hari dan pada saat panas turun disertai/disusul dengan gangguan hemostatik dan kebocoran plasma (plasma leakage). 
GEJALA KLINIS
  1. Demam
-                   Timbul mendadak, berlangsung 2-7 hari
-                   Disertai dengan tidak mau bermain (not doing well), nafsu makan menghilang, mual , dan tidak jarang disertai muntah.
-                   Kadang kurva suhu berbentuk pelana (sadle-back fever)
-                   Suhu turun mendadak, kemudian penderita merasa/tampak membaik dan muncul nafsu makan.
  1. Nyeri
-                   Nyeri kepala
-                   Nyeri belakang mata (retro orbital)
-                   Nyeri otot (myalgia)
-                   Nyeri sendi (arthralgia)
  1. Ruam
-                   Pada awal sakit dapat timbul kemerahan (flushing) pada kulit penderita
-                   Pada periode penyembuhan dapat muncul confalescence rash, berupa morbilli like rash yang lokasinya di ekstremitas bawah (shoe like appearance) dan di ekstremitas atas (handglove like appearance)
  1. Manifestasi perdarahan
-                   tidak selalu ada
-                   Dapat berupa tourniquet test yang positip, petekiae, epistaksis, perdarahan gusi dan dapat terjadi perdarahan masif berupa hematemesis/melena yang sampai membutuhkan transfusi darah.

  1. Dapat dijumpai gejala gastro intestinal, berupa nyeri perut, muntah, sulit BAB, diare dan gejala saluran napas atas berupa batuk serta pilek yang ringan
Manifestasi klinis infeksi virus dengue
Spektrum Klinis
Manifestasi Klinis
DD
• Demam akut selama 2-7 hari, disertai dua atau lebih manifestasi berikut: nyeri kepala, nyeri retroorbita,   mialgia, manifestasi perdarahan, dan leukopenia.
• Dapat disertai trombositopenia.
• Hari ke-3-5 ==> fase pemulihan (saat suhu turun), klinis membaik.
DBD
• Demam tinggi mendadak selama 2-7 hari disertai nyeri kepala, nyeri retroorbita, mialgia dan nyeri perut.
• Uji torniquet positif.
• Ruam kulit : petekiae, ekimosis, purpura.
• Perdarahan mukosa/saluran cerna/saluran kemih : epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hematuri.
• Hepatomegali.
• Perembesan plasma: efusi pleura, efusi perikard, atau perembesan ke rongga peritoneal.
• Trombositopenia.
• Hemokonsentrasi.
• Hari ke 3-5 ==> fase kritis (saat suhu turun), perjalanan penyakit dapat berkembang menjadi syok
Keterangan:
  • Manifestasi klinis nyeri perut, hepatomegali, dan perdarahan terutama perdarahan GIT lebih dominan pada DBD.
  • Perbedaan utama DBD dengan DD adalah pada DBD terjadi peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi perembesan plasma yang mengakibatkan haemokonsentrasi, hipovolemia dan syok.
  • Uji torniquet positif : terdapat 10 – 20 atau lebih petekiae dalam diameter 2,8 cm (1 inchi).
Diagnosis
  • Diagnosis DD ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang sesuai tabel 1, dan tidak ditemukan adanya tanda-tanda perembesan plasma (hemokonsentrasi, hipovolemia, dan syok).
  • Sedangkan diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis WHO sebagai berikut:
    • Kriteria klinis
      • Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari.
      • Terdapat manifestasi perdarahan : uji torniquet positif, petekiae, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan atau melena.
      • Hepatomegali.
      • Syok
    • Kriteri laboratoris
      • Trombositopenia (trombosit =100.000 mm3)
      • Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit =20% menurut standar umur dan jenis kelamin)

TES WIDAL YANG SERING MENGACAUKAN
  • Di Indonesia pemeriksaan widal sebagai pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis tifus paling sering digunakan. Meskipun ternyata pemeriksaan ini sering menimbulkan kerancuan dan mengakibatkan kesalahan diagnosis. Dalam penelitian penulis didapatkan infeksi virus yang sering menjadi penyebab demam pada anak dan orang dewasa ternyata juga terjadi peningkatan hasil widal yang tinggi pada minggu pertama.
  • Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.9,13
  • Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat.
  • Dalam penelitian kecil yang dilakukan terhadap 29 anak didapatkan hasil widal yang tinggi pada hari ke tiga hingga ke lima antara 1/320 hingga 1/1280. Setelah dilakukan follow up dalam waktu demam pada minggu ke dua hasil widal tersebut menurun bahkan sebagian kasus menjadi negatif. Padahal seharusnya pada penderita tifus nilai widal tersebut seharusnya semakin meningkat pada minggu ke dua. Dalam follow up pada minggu ke dua ternyata hasil nilai widal menghilang atau jauh menurun. Padahal seharusnya akan pada penderita tifus seharusnya malahan semakin meningkat. Karakteristik penderita adalah usia 8 bulan hingga 5 tahun, dengan rata-rata usia 2,6 tahun. Jenis kelamin laki-laki 41% dan perempuan 59%. Semua penderita menunjukkan hasil kultur darah gall degatif dan semua penderita tidak diberikan antibiotika dan mengalami self limiting disease atau penyembuhan sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa penyebab infeksi pada kasus tersebut adalah infeksi virus.
  • Yang menarik dalam kasus tersebut 10 penderita (34%) sebelumnya mengalami diagnosis penyakit tifus sebanyak 2-4 kali dalam setahun. Sebagian besar penderita atau sekitar 89% pada kelompok ini adalah kelompok anak yang sering mengalami infeksi berulang saluran napas. Dan sebagian besar lainnya atau sekitar 86% adalah penderita alergi.
    Penelitian lain yang dilakukan penulis pada 44 kasus penderita demam beradarah, didapatkan 12 (27%) anak didapatkan hasil widal O berkisar antara 240-360 dan 15 (34%) anak didapatkan hasil widal O 1/120. Semua penderita tersebut menunjukkan hasil kultar darah gall negatif dan tidak diberikan terapi antibiotika membaik.
  • Pada kelompok tersebut ternyata penderita yang pernah di imunisasi tifus hanya sekitar 10%. Hal ini yang menggugurkan pendapat bahwa penyebab Widal tinggi karena imunisasi tifus,
  • Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada infeksi virus pada penderita tertentu terutama penderita alergi dapat meningkatkan nilai Widal. Banyak penderita alergi pada anak yang mengalami peningkatan hasil widal dalam saat mengalami infeksi virus tampak menarik untuk dilakukan penelitian lebih jauh. Diduga mekanisme hipersensitif atau proses auto imun yang sering terganggu pada penderita alergi dapat ikut meningkatkan hasil widal. Dengan adanya penemuan awal tersebut tampaknya sangat berlawanan dengan pendapat yang banyak dianut sekarang bahwa peningkatan hasil widal terjadi karena Indonesia merupakan daerah endemis tifus. Fenomena ini perlu dilakukan penelitian lebih jauh khusus dalam hal biomolekuler dan imunopatofisiologi.
  • Banyak akibat atau konsekuensi nyang ditimbulkan bila terjadi ”overdiagnosis tifus”.
    • Penderita harus mengkonsumsi antibiotika jangka panjang padahal infeksi yang terjadi adalah infeksi virus.
    • Konsekuensi lain yang diterima adalah penderita seringkali harus dilakukan rawat inap di rumah sakit. Hal lain yang terjadi seringkali penderita seperti ini mengalami diagnosis tifus berulang kali. Semua kondisi tersebut diatas akhirnya berakibat peningkatan biaya berobat yang sangat besar padahal seharusnya tidak terjadi. Belum lagi akbat efek samping pemberian obat antibiotika jangka panjang yang seharusnya tidak diberikan.
    • Terjadi keterlambatan penanganan diagnosis DBD karemna keterlambatan penanganan karena keterlambatan atau kesalahan diagnosis
PERBEDAAN DEMAM TIFUS DAN DEMAM KARENA DEMAM BERDARAH DENGUE
  • DEMAM TIFUS SERINGKALI BILA TIDAK CERMAT SULIT DIBEDAKAN DENGAN DEMAM KARENA DBD, TETAPI KALAU MELIHAT POLA DEMAMNYA RELATIF MUDAH DIBEDAKAN
  • DEMAM KARENA VDBD  : 1-2 HARI AWAL MENDADAK SANGAT TINGGI, KEMUDIAN PADA HARI KETIGA TURUN, HARI KE 4-5 NAIK TAPI TIDAK SETINGGI HARI 1-2 (POLA PENURUNAN ANAK TANGGA , DBD POLA PELANA KUDA)
  • DEMAM KARENA TIFUS : DEMAM AWALNYA TIDAK TERLALU TINGGI, TETAPI HARI KE 4-5 BERIKUTNYA SEMAKIN TINGGI DAN SEMAKIN TINGGI (POLA KENAIKKAN ANAK TANGGA)
SIGN IMMITATOR :
gejala tifus juga mirip beberapa penyakit lainnya, beberapa gejala yang sering mengecoh sehingga membuat overdiagnosis tifus sering terjadi. BEBERAPA GEJALA DAN TANDA UMUM YANG BUKAN HANYA ADA PENYAKIT TIFUS :
  • LIDAH KOTOR, pada anak dengan sensitif saluran cerna ATAU GANGGUAN FUNGSI SALURAN CERNA (PENDERITA ALERGI/GER yang sebelumnya dalam keadaan sehatpun juga sering mengalami gangguan lidah putih dan kotor) ternyata bila demam juga menimbulkan gangguan warna putih pada lidah, hanya saja pada tifus lidah putih sangat tebal dengan tepi kemerahan
GANGGUAN PENCERNAAN :
  • NYERI PERUT, MUNTAH, DIARE, SULIT BAB. Pada anak dengan sebelumnya punya riwayat sensitif saluran cerna atau gangguan fungsi saluran cerna (alergi, GER, nyeri perut berulang, konstipasi berulang dll) Ternyata pada saat demam gangguan saluran cerna ini juga seringkali timbul
  • DEMAM MALAM HARI, pada anak tertentu ternyata juga mempunyai pola demam terjadi pada malam hari bila terkena infeksi. Hal ini sering terjadi pada penderita alergi. Mungkin karena pengaruh hormon sirkadial, hal ini juga yang menjelkaskan kenapa gejala alergi lebih berat pada malam hari

Benarkah penderita DBD daya tahan tubuhnya menurun kemudian terinfeksi penyakit tifus ?
  • Beberapa dokter mengatakan bahwa hal itu bisa saja terjadi karena penderita DBD daya tahan tubuhnya turun kemudian terserang penyakit tifus.
  • Secara teoritis hal itu bisa saja terjadi, tetapi kalaupun ada kemungkinan untuk terjadi sangat jarang.  Teori di atas dibantah karena masa inkubasi Demam tifoid adalah 5-7 hari, jadi asusmsi yang terjadi adalah infeksi itu terjadi bebarengan saat sebelum sakit, bukan saat sakit DBD.
  • Jadi pendapat bahwa daya tahan penderita DBD turun terus akan terjadi infeksi tifus seharusnya terjadi seminggu setelah sakit DBD.
KONDISI DAN KEADAAN YANG HARUS DIWASPADAI PADA PENDERITA YANG SERING MENGALAMI ”OVER DIAGNOSIS TIFUS”
Terdapat beberapa kondisi dan keadaan yang harus diwaspadai pada penderita penderita yang telah divonis tifus yang dapat berakibat ”over diagnosis tifus”. Dalam penelitian tersebut di atas terdapat beberapa karakteristik penderita yang sering mengalami ”overdiagnosis tifus”, diantaranya adalah :
  • Penderita demam berdarah
  • Hasil pemeriksaan widal yang sangat tinggi pada hari ke 3-5 saat demam.
  • Dalam lingkungan satu rumah terdapat penderita demam tinggi dalam waktu yang hampir bersamaan (dalam waktu kurang dari 3-5 hari).
  • Penderita divonis ”gejala tifus” atau ”tifus ringan”
  • Demam disertai gejala batuk dan pilek pada awal penyakit
  • Penderita yang sering mengalami infeksi berulang (sering demam, batuk dan pilek)
  • Penderita alergi (batuk lama, pilek lama, sinusitis, asma) yang disertai GER (gastrooesephageal refluks) atau sering muntah.
  • Penderita tifus berulang atau penderita yang divonis tifus lebih dari sekali
  • Peningkatan nilai widal H, (widal H bukan merupakan petanda infeksi tifus)
  • Penderita berusia kurang dari 2 tahun
Bila penderita mengalami hal tersebut maka sebaiknya harus cermat dalam menerima diagnosis tifus. Penyakit demam yang disebabkan karena penderita DBD atau infeksi virus lainnya disertai kondisi tersebut di atas sering mengalami terjadi peningkatan nilai widal, padahal tidak mengalami infeksi tifus. Diagnosis tifus ditegakkan bukan hanya berdasarkan hasil laboratorium.

BAGAIMANA MENYIKAPINYA
  • Dalam menanganani kasus demam hari 1—3 yang sangat tinggi, sebaiknya yang paling awal dipikirkan apakah demam berdarah atau bukan ? Bukan sebaliknya tifus atau bukan ? Bila demam berdarah disingkirkan dan demam masih sangat tinggi di atas (38,5 C) saat hari ke 4-5 boleh saja dipikikrkan penyakitb yang lain termasuk tifus.
  • Mengingat akurasi pemeriksaan widal tidak tinggi dan sering mengakibatkan bias dengan penyakit lainnya maka masyarakat dan klinisi harus cermat dalam menyikapinya. Dalam penegakaan diagnosis demam tifus diperlukan data yang lengkap dan jelas meliputi riwayat perjalanan penyakit, tanda dan gejala klinis serta hasilmpemeriksaan laboratorium. Selanjutnya untuk memastikan diagnosis kerja diperlukan interpretasi klinis yang cermat dan mendalam dianatara ketiga faktor tersebut. Bukan sekedar mengandalkan hasil laboratorium tanpa memperhatikan kondisi klinis penderita.
  • Mengingat seringnya kerancuan yang diakibatkan oleh pemeriksaan widal, maka sebaiknya pemeriksan widal dilakukan pada penderita saat minggu ke dua demam bukan saat minggu pertama. Penting harus diketahui bahwa tinggi rendahnya nilai widal bukan merupakan ganbaran berat ringannya penyakit tifus.
  • Dokter sebagai faktor yang paling berpengaruh dalam masalah “overdiagnosis” ini sebaiknya harus lebih mawas diri. Berbagai tindakan medis yang dilakukan harus berdasarkan kemampuan profesional khususnya dalam menginterpretasi hasil laboratorium. Kepentingan kesehatan penderita harus diutamakan di atas segalanya. Tindakan medis dilakukan bukan karena pertimbangan kepentingan lainnya. Pendidikan dokter berkelanjutan dan komunikasi dengan pakar tampaknya merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan profesionalitas dokter khususnya dalam mengurangi kesenjangan pemahaman klinis yang sering terjadi.
  • Orangtua penderita sebagai penerima layanan medis berhak mengetahui informasi penyakit penderita secara lengkap dan jelas. Pengetahuan dan pemahaman masyarakat dalam masalah ini dapat mengurangi kejadian ”overdiagnosis tifus yang masih banyak terjadi. Bila dalam keadaan seperti di atas penderita masih divonis demam tifus perlu mendiskusikan dengan baik dan menanyakan lebih jauh terhadap dokter yang merawat.
  • Bila meragukan dapat dilakukan pemeriksaan widal seminggu kemudian, bila terjadi peningkatan nilai widal sebanyak 4 kali menunjukkan konfirmasi diagnosis. Bila menurun, tetap atau peningkatan tidak terlalu tinggi dibandingkan nilai widal sebelumnya maka diagnosis tifus patut diragukan.
  • Kalau perlu diusulkan untuk melakukan pemeriksaan kultur darah gall untuk memastikan diagnosis tifus. Bila masih meragukan terutama penderita yang berulangkali divonis tifus sebaiknya melakukan “second opinion” atau pendapat kedua dengan dokter lainnya.
  • Perlu dilakukan penelitian lebih jauh tentang fenomena demam berdarah dan demam tifus ini secara lebih mendalam

0 komentar:

Posting Komentar