Rabu, 24 Oktober 2012

Candida sp



KLASIFIKASI
Kingdom : Fungi
Phylum : Ascomycota
Subphylum : Saccharomycotina
Class : Saccharomycetes
Ordo : Saccharomycetales
Family : Saccharomycetaceae
Genus : Candida
Spesies : Candida albicans (C.P. Robin) Berkhout 1923
Sinonim : Candida stellatoidea dan Oidium albicans

 MORFOLOGI
Candida albicans merupakan jamur dimorfik karena kemampuannya untuk tumbuh dalam dua bentuk yang berbeda yaitu sebagai sel tunas yang akan berkembang menjadi blastospora dan menghasilkan kecambah yang akan membentuk hifa semu. Perbedaan bentuk ini tergantung pada faktor eksternal yang mempengaruhinya. Sel ragi (blastospora) berbentuk bulat, lonjong atau bulat lonjong dengan ukuran 2-5 μ x 3-6 μ hingga 2-5,5 μ x 5-28 μ .
C. albicans memperbanyak diri dengan membentuk tunas yang akan terus memanjang membentuk hifa semu. Hifa semu terbentuk dengan banyak kelompok blastospora berbentuk bulat atau lonjong di sekitar septum. Pada beberapa strain, blastospora berukuran besar, berbentuk bulat atau seperti botol, dalam jumlah sedikit.
Sel ini dapat berkembang menjadi klamidospora yang berdinding tebal dan bergaris tengah sekitar 8-12 μ.
Morfologi koloni C. albicans pada medium padat agar Sabouraud Dekstrosa, umumnya berbentuk bulat dengan permukaan sedikit cembung, halus, licin dan kadang-kadang sedikit berlipat-lipat terutama pada koloni yang telah tua. Umur biakan mempengaruhi besar kecil koloni. Warna koloni putih kekuningan dan berbau asam seperti aroma tape. Dalam medium cair seperti glucose yeast, extract pepton, C. albicans tumbuh di dasar tabung.
Pada medium tertentu, di antaranya agar tepung jagung (corn-meal agar), agar tajin (rice-cream agar) atau agar dengan 0,1% glukosa terbentuk klamidospora terminal berdinding tebal dalam waktu 24-36 jam.
Pada medium agar eosin metilen biru dengan suasana CO2 tinggi, dalam waktu 24-48 jam terbentuk pertumbuhan khas menyerupai kaki laba-laba atau pohon cemara. Pada medium yang mengandung faktor protein, misalnya putih telur, serum atau plasma darah dalam waktu 1-2 jam pada suhu 37oC terjadi pembentukan kecambah dari blastospora.
C. albicans dapat tumbuh pada variasi pH yang luas, tetapi pertumbuhannya akan lebih baik pada pH antara 4,5-6,5. Jamur ini dapat tumbuh dalam perbenihan pada suhu 28oC - 37oC. C. albicans membutuhkan senyawa organik sebagai sumber karbon dan sumber energi untuk pertumbuhan dan proses metabolismenya. Unsur karbon ini dapat diperoleh dari karbohidrat. Jamur ini merupakan organisme anaerob fakultatif yang mampu melakukan metabolisme sel, baik dalam suasana anaerob maupun aerob. Proses peragian (fermentasi) pada C. albicans dilakukan dalam suasana aerob dan anaerob. Karbohidrat yang tersedia dalam larutan dapat dimanfaatkan untuk melakukan metabolisme sel dengan cara mengubah karbohidrat menjadi CO2 dan H2O dalam suasana aerob.
Sedangkan dalam suasana anaerob hasil fermentasi berupa asam laktat atau etanol dan CO2. Proses akhir fermentasi anaerob menghasilkan persediaan bahan bakar yang diperlukan untuk proses oksidasi dan pernafasan. Pada proses asimilasi, karbohidrat dipakai oleh C. albicans sebagai sumber karbon maupun sumber energi untuk melakukan pertumbuhan sel.
C. albicans dapat dibedakan dari spesies lain berdasarkan kemampuannya melakukan proses fermentasi dan asimilasi. Pada kedua proses ini dibutuhkan karbohidrat sebagai sumber karbon.
Pada proses fermentasi, jamur ini menunjukkan hasil terbentuknya gas dan asam pada glukosa dan maltosa, terbentuknya asam pada sukrosa dan tidak terbentuknya asam dan gas pada laktosa. Pada proses asimilasi menunjukkan adanya pertumbuhan pada glukosa, maltosa dan sukrosa namun tidak menunjukkan pertumbuhan pada laktosa.
Dinding sel C. albicans berfungsi sebagai pelindung dan juga sebagai target dari beberapa antimikotik. Dinding sel berperan pula dalam proses penempelan dan kolonisasi serta bersifat antigenik. Fungsi utama dinding sel tersebut adalah memberi bentuk pada sel dan melindungi sel ragi dari lingkungannya. C. albicans mempunyai struktur dinding sel yang kompleks, tebalnya 100 sampai 400 nm. Komposisi primer terdiri dari glukan, manan dan khitin. Manan dan protein berjumlah sekitar 15,2-30 % dari berat kering dinding sel, -1,3-D-glukan dan *1,6-D-glukan sekitar 47-60 %, khitin sekitar 0,6-9 %, protein 6-25 % dan lipid 1-7 %. Dalam bentuk ragi, kecambah dan miselium, komponen-komponen ini menunjukkan proporsi yang serupa tetapi bentuk miselium memiliki khitin tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan sel ragi. Dinding sel C. albicans terdiri dari lima lapisan yang berbeda. Segal dan Bavin (1994) memperlihatkan bahwa dinding sel C. albicans terdiri dari lima lapisan yang berbeda. Membran sel C. albicans seperti sel eukariotik lainnya terdiri dari lapisan fosfolipid ganda. Membran protein ini memiliki aktifitas enzim seperti manan sintase, khitin sintase, glukan sintase, ATPase dan protein yang mentransport fosfat. Terdapatnya membran sterol pada dinding sel memegang peranan penting sebagai target antimikotik dan kemungkinan merupakan tempat bekerjanya enzim-enzim yang berperan dalam sintesis dinding sel. Mitokondria pada C. albicans merupakan pembangkit daya sel. Dengan menggunakan energi yang diperoleh dari penggabungan oksigen dengan molekul-molekul makanan, organel ini memproduksi ATP.
Seperti halnya pada eukariot lain, nukleus C. albicans merupakan organel paling menonjol dalam sel. Organ ini dipisahkan dari sitoplasma oleh membran yang terdiri dari 2 lapisan. Semua DNA kromosom disimpan dalam nukleus, terkemas dalam serat-serat kromatin. Isi nukleus berhubungan dengan sitosol melalui pori-pori nucleus. Vakuola berperan dalam sistem pencernaan sel, sebagai tempat penyimpanan lipid dan granula polifosfat. Mikrotubul dan mikrofilamen berada dalam sitoplasma. Pada C. albicans mikrofilamen berperan penting dalam terbentuknya perpanjangan hifa.C. albicans mempunyai genom diploid. Kandungan DNA yang berasal dari sel ragi pada fase stasioner ditemukan mencapai 3,55 μg/108sel. Ukuran kromosom Candida albicans
sampai 10diperkirakan berkisar antara 0,95-5,7 Mbp. Beberapa metode menggunakan Alternating Field Gel Electrophoresis telah digunakan untuk membedakan strain C. albicans. Perbedaan strain ini dapat dilihat pada pola pita yang dihasilkan dan metode yang digunakan. Strain yang sama memiliki pola pita kromosom yang sama berdasarkan jumlah dan ukurannya. Steven dkk (1990) mempelajari 17 strain isolat C. albicans dari kasus kandidosis. Dengan metode elektroforesis, 17 isolat C. albicans tersebut dikelompokkan menjadi 6 tipe. Adanya variasi dalam jumlah kromosom kemungkinan besar adalah hasil dari chromosome rearrangement yang dapat terjadi akibat delesi, adisi atau variasi dari pasangan yang homolog. Peristiwa ini merupakan hal yang sering terjadi dan merupakan bagian dari daur hidup normal berbagai macam organisme. Hal ini juga seringkali menjadi dasar perubahan sifat fisiologis, serologis maupun virulensi. Pada C. albicans, frekuensi terjadinya variasi morfologi koloni dilaporkan sekitar 10-2 -4 dalam koloni abnormal. Frekuensi meningkat oleh mutagenesis akibat penyinaran UV dosis rendah yang dapat membunuh populasi kurang dari 10%. Terjadinya mutasi dapat dikaitkan dengan perubahan fenotip, berupa perubahan morfologi koloni menjadi putih smooth, gelap smooth, berbentuk bintang, lingkaran, berkerut tidak beraturan, berbentuk seperti topi, berbulu, berbentuk seperti roda, berkerut dan bertekstur lunak.
PATOGENITAS DAN VIRULENSI
Bagian Tubuh yang Mungkin Terinfeksi Candida albicans
Pada manusia, C. albicans sering ditemukan di dalam mulut, feses, kulit dan di bawah kuku orang sehat. C. albicans dapat membentuk blastospora dan hifa, baik
dalam biakan maupun dalam tubuh. Bentuk jamur di dalam tubuh dianggap dapat dihubungkan dengan sifat jamur, yaitu sebagai saproba tanpa menyebabkan kelainan atau sebagai parasit patogen yang menyebabkan kelainan dalam jaringan. Penyelidikan lebih lanjut membuktikan bahwa sifat patogenitas tidak berhubungan dengan ditemukannya C. albicans dalam bentuk blastospora atau hifa di dalam jaringan. Terjadinya kedua bentuk tersebut dipengaruhi oleh tersedianya nutrisi, yang dapat ditunjukkan pada suatu percobaan di luar tubuh. Pada keadaan yang menghambat pembentukan tunas dengan bebas, tetapi yang masih memungkinkan jamur tumbuh, maka dibentuk hifa. Rippon (1974) mengemukakan bahwa bentuk blastospora diperlukan untuk memulai suatu lesi pada jaringan. Sesudah terjadi lesi, dibentuk hifa yang melakukan invasi. Dengan proses tersebut terjadilah reaksi radang. Pada kandidosis akut biasanya hanya terdapat blastospora, sedang pada yang menahun didapatkan miselium. Kandidosis di permukaan alat dalam biasanya hanya mengandung blastospora yang erjumlah besar, pada stadium lanjut tampak hifa. Hal ini dapat dipergunakan untuk menilai hasil pemeriksaan bahan klinik, misalnya dahak, urin untuk menunjukkan stadium penyakit. Kelainan jaringan yang disebabkan oleh C. albicans dapat berupa peradangan, abses kecil atau granuloma. Pada kandidosis sistemik, alat dalam yang terbanyak terkena adalah ginjal, yang dapat hanya mengenai korteks atau korteks dan medula dengan terbentuknya abses kecil-kecil berwarna keputihan.
Alat dalam lainnya yang juga dapat terkena adalah hati, paru-paru, limpa dan kelenjar gondok. Mata dan otak sangat jarang terinfeksi. Kandidosis jantung berupa proliferasi pada katup-katup atau granuloma pada dinding pembuluh darah koroner atau miokardium. Pada saluran pencernaan tampak nekrosis atau ulkus yang kadang-kadang sangat kecil sehingga sering tidak terlihat pada pemeriksaan. Manifestasi klinik infeksi C. albicans bervariasi tergantung dari organ yang diinfeksinya. Pada wanita, C. albicans sering menimbulkan vaginitis dengan gejala utama fluor albus yang sering disertai rasa gatal. Infeksi ini terjadi akibat tercemar setelah defekasi, tercemar dari kuku atau air yang digunakan untuk membersihkan diri; sebaliknya vaginitis Candida dapat menjadi sumber infeksi di kuku, kulit di sekitar vulva dan bagian lain.
MASA INKUBASI ATAU CARA PENULARAN, DILENGKAPI DENGAN SIKLUS
Setiap wanita memiliki satu pasangan yang aktual atau potensial. Banyak pria mengembangkan infeksi candida pada genitalia, yang biasanya tampak sebagai
balanitis atau balanoposthitis. Sumber infeksi ini secara normal berasal dari pasangan seksual wanita, dan masa inkubasinya 2-3 hari. Faktor resiko pada pria hampir sama dengan wanita. Misalnya, diabetes melitus meningkatkan kerentanan pria terhadap infeksi jamur sama dengan wanita. Penularan Candida albicans pada pria diperkirakan sekitar 10%. Di samping infeksi langsung, manifestasi lain C. Albicans adalah dermatitis tingkat rendah pada penis pria yang berhubungan seksual dengan wanita yang menderita candidosis vagina. Dermatitis ini tampak melalui iritasi dan hiperaemia yang terjadi dalam beberapa jam atau beberapa hari setelah hubungan seksual. Pertimbangan tentang natural history candidosis vagina menyatakan bahwa bila wanita dapat menularkan penyakit ini pada pria, bukan tidak mungkin terjadi proses sebaliknya. Namun demikian, perawatan bagi pria yang pasangannya menderita candidosis vagina tidak begitu penting. Infeksi jamur pada organ genitalia maternal merupakan salah satu sumber infeksi bagi neonatus, yang menimbulkan sariawan oral. Di samping itu, terdapat beberapa jalur infeksi lain, namun tidak semuanya dapat dipahami (Oriel, J.D, 1977).
Berbagai kondisi yang menurunkan keasaman vagina dan dapat meningkatkan resiko terkena infeksi jamur vagina sebagai berikut:
• stress
• kurang tidur
• sakit
• diet yang buruk atau terlalu banyak makan makanan yang mengandung gula
• kehamilan
• menstruasi
• menggunakan pil KB
• menggunakan antibiotic
• menggunakan obat-obatan steroid
• penyakit seperti diabetes yang tidak terkontrol atau infeksi HIV

Infeksi dapat pula terjadi melalui hubungan seksual, namun angka kejadiannya sangat jarang, umumnya terjadi pada pria. Pada wanita, infeksi lebih sering terjadi karena melemahnya sistem imun (Medic8® Family Health Guide, 2007).
Lingkungan Fisik Memungkinkan dan Memudahkan Orang Tertular Kontak atau Lebih Beresiko dengan Penyebab Penyakit. Faktor utama penyebab candidosis
vagina adalah masalah kebersihan. Infeksi jamur dapat disebabkan oleh air kotor yang digunakan untuk membersihkan vagina. Di samping itu, pakaian dalam yang kotor atau tidak diganti secara teratur juga dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Pakaian dalam ketat atau berbahan nilon dapat menyebabkan vagina menjadi lembap sehingga menyediakan lingkungan yang ideal bagi pertumbuhan jamur (Chu, J. H. K, 2007).
Lingkungan Sosio-Kultural yang Memungkinkan dan Memudahkan Orang Tertular Kontak atau Lebih Beresiko dengan Penyebab Penyakit. Candidosis vagina sangat tidak umum terjadi sebelum menstruasi dan setelah menopause karena tidak diproduksinya estrogen lagi. Ini mungkin karena candida tidak dapat berkembang biak dengan baik pada lingkungan ini. Bahkan dalam kejadian tanpa gejala, pada wanita usia produktif tanpa infeksi jamur yang baru, ada 25-30% kejadian dari kolonisasi jamur vagina oleh polimerase chain reaction (PCR) dan tidak berbeda dari wanita yang mengalami infeksi jamur berulang. Kebudayaan lebih sering berpengaruh pada wanita dengan riwayat infeksi jamur berulang dibandingkan dengan pada wanita tanpa gejala (22% vs 6%) yang akan mengindikasikan bahwa secara kuantitatif, makin banyaknya organisme jamur menyebabkan seorang wanita cenderung untuk mengalami infeksi berulang. Ada suatu angka kejadian lebih tinggi dari candidosis vagina pada pemakai pakaian dalam yang ketat (Health On The Net Foundation, 2006).
Ketahanan Mental-Biologik (Kebugaran Jasmani, Ketahanan Mental, Status Genetika, Status Gizi Dan Kekebalan Biologic) yang Memungkinkan dan Memudahkan Orang Tertular Kontak atau Lebih Beresiko dengan Penyebab Penyakit. Penyebab candidosis vagina ada setidaknya dua komponen, yaitu kedatangan fungi pada vagina dan perubahan kondisi biokimia dan imun vagina yang memungkinkan fungi tumbuh pesat dan menimbulkan gejala. Sekitar 25-30% wanita usia reproduktif memiliki jamur pada vaginanya. Fungi yang paling umum adalah Candida albicans, tetapi spesies lain juga menimbulkan gejala seperti C. glabrata, C. tropicalis, C. guilliermondii, C. parapsilosis, dan lain-lain. Kondisi kedua yang diperlukan untuk pertumbuhan jamur vagina adalah perubahan biokimia vagian. Dalam keadaan normal tanpa infeksi, lactobacillus vaginal melekat pada dinding epitel vagina dan mencegah uropatogen lain menempel. Segala sesuatu yang mengganggu pertumbuhan normal lactobacillus vaginal, seperti antibiotik, meningkatkan resiko infeksi vagina dan bila jamur yang menjadi patogen ada, jamur itu akan melekat di epitel dan menimbulkan gejala.
Diabetes dan kondisi lain yang menekan sistem imun meningkatkan diabetes. Kontrasepsi oral hanya mencegah kehamilan, bukan pemaparan terhadap infeksi jamur. Pasien HIV hanya mengalami peningkatan infeksi jamur bila sistem imun tertekan, biasanya dengan jumlah CD4 kurang dari 200 sel/mm3 (Health On The Net Foundation, 2006).
Kegiatan Pelayanan Kesehatan (Primer, Sekunder dan Tersier) yang Memungkinkan dan Memudahkan Orang Tertular Kontak atau Lebih Beresiko dengan Penyebab Penyakit. Untuk menggunakan obat bebas yang dijual di pasaran, pasien harus berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu, terutama apabila pasien sedang hamil, tidak pernah didiagnosa dengan penyakit infeksi jamur sebelunya, atau pernah terkena penyakit infeksi jamur berulang. Penelitian menunjukkan bahwa 2/3 wanita yang membeli produk-produk ini tidak benar-benar terkena infeksi jamur. Menggunakan obat-obatan ini secara tidak tepat akan menyebabkan infeksi yang sulit untuk disembuhkan. Di samping itu, menggunakan obat-obatan untuk infeksi jamur ketika pasien memiliki infeksi lainnya dapat memperburuk kondisinya (Medic8® Family Health Guide, 2007). Bila pasien memutuskan untuk menggunakan obat bebas, baca dan ikuti petunjuknya secara hati-hati. Beberapa krim dan suppositoria dapat melemahkan kondom dan diafragma. Kuman bisa kebal (mempunyai resistansi) terhadap obat-obatan yang biasa dipakai untuk menyembuhkan penyakit tersebut. Salah satu penyebab dari resistansi tersebut disebabkan oleh kemunculan C.glabrata sebagai agen yang infeksius dibandingkan C.albicans. C.glabrata lebih resisten terhadap berbagai perlakuan. Kadang seorang wanita bisa menderita iritasi vulvovaginitis yang tidak disebabkan oleh infeksi jamur. Krim pengobatan, suppositoria, atau perineal pads bisa menimbulkan reaksi alergi atau iritasi yang lebih parah lagi. Pengobatan vaginal topical dengan butaconazole lebih diutamakan dibandingkan dengan oral fluconazole (Diflucan®) sebab bersifat tanpa resep dan lebih efektif. Fluconazole cukup efektif, namun spesies non-candida albicans sudah mengalami resistensi dan membutuhkan dosis yang lebih tinggi untuk mematikannya. Secara ilmiah diusahakan untuk menerapkan terapi sistemik (oral) pada pasien yang memiliki bloodborne yeast infection seperti AIDS atau berhubungan dengan kemoterapi untuk kanker lebih dibandingkan inducing resistansi organisme pada pengobatan infeksi vaginal. Asupan yogurt yang terdapat lactobacillus acidophilus sepertinya tidak mengurangi kejadian candidosis vagina, walaupun mempunyai peran untuk bacterial vaginosis (Health On The Net Foundation, 2006).
Fase Prepatogenesis. Pada fase prepatogenesis, terjadi interaksi antara berbagai faktor determinan penyakit sebelum agen penyakit berinteraksi dengan manusia. Fase ini dipengaruhi oleh faktor predisposisi fisiologis dan patologis.
Faktor Predisposisi Fisiologis Pada kehamilan, terjadi perubahan hormonal. Meningkatnya produksi estrogen menyebabkan pH vagina menjadi lebih asam dan sangat baik untuk pertumbuhan candida. Pada umur tertentu, yaitu bayi dan orang tua, orang mempunyai kerentanan terhadap infeksi.
Faktor Predisposisi Patologis. Keadaan umum yang buruk antara lain prematuritas, gangguan gizi, dan penyakit menahun. Penyakit tertentu yang diderita, seperti diabetes melitus, leukemia, dan keganasan, dapat meningkatkan kerentanan. Di samping itu, kerentanan juga dipengaruhi oleh penggunaan obat-obatan, antibiotika, oral kontrasepsi, kortikosteroid, dan sitostatika, serta iritasi setempat pada tubuh, antara lain kegemukan, urin, air, dan lain-lain.
Fase Patogenesis. Pada fase patogenesis, terjadi perjalanan penyakit dalam tubuh manusia sehingga muncul berbagai gejala klinis antara lain sebagai berikut:
• Sebagian penderita asimtomatis atau mempunyai keluhan yang sangat ringan disertai perasaan gatal
• Bila hebat seringkali akan mengeluh perasaan panas dan nyeri sewaktu koitus
• Fluor albus berwarna keputih-putihan seperti susu pecah
• Pada pemeriksaan didapatkan vulva edema, hiperemia, dan erosi
• Vagina hiperemia disertai discharge keputihan tebal yang bila diangkat mukosa di bawahnya mengalami erosi, kadang-kadang discharge sedikit, encer, atau seperti normal.

Rasa terbakar pada vagina atau vulva tidak selalu merupakan faktor pembeda untuk vaginitis akibat jamur dan vaginosis akibat bakteri. Suatu studi menemukan bahwa faktor-faktor pembeda terbaik antara lain penggunaan kondom, penggunaan antibiotik dalam waktu dekat, usia muda, dan tidak adanya gonorrhea atau vaginosis akibat bakteri. PH vagina pada infeksi jamur lebih rendah daripada vaginitis tipe lain dan biasanya sekitar 3.8-4.2, tetapi yang paling sering di bawah 4.5. Pengecatan gram untuk menunjukkan jamur adalah metode diagnosis yang tepat seperti kulturnya tetapi ini hanya terjadi pada pasien simtomatik karena adanya latar belakang positif pada wanita tanpa problem jamur. Pemeriksaan apusan dapat akurat apabila baik hifa dan spora terlihat tetapi degnan hasil negatif. Seorang wanita dapat menunjukkan ekskret
keputihan atau kekuningan yang tidak encer atau seperti keju. Gatal-gatal dan rasa panas (terbakar) pada vulva tidak selalu terjadi atau bahkan kemerahan dan membengkak (Health On The Net Foundation, 2006).
Fase Convalescense. Fase convalescense merupakan proses penyembuhan yang mempengaruhi kemungkinan keluaran hasil akhir dari perjalanan sakit. Kemungkinan hasil akhir perjalanan penyakit ini adalah sembuh total atau sembuh dengan gejala sisa.
UPAYA PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN
Pengobatan penyakit ini menggunakan antimikotik topikal seperti nistatin 100.000 unit selama 14 hari, mikonasol 100 mg selama 7 hari, dan klotrimasol 100 mg selama 7 hari, serta antimikotik sistemik seperti ketokonazol dengan dosis 2 x 100 mg selama 10-15 hari. Pengobatan suportif dapat dilakukan dengan menghilangkan faktor-faktor prediposisi. Perawatan yang tepat mapu menyembuhkan 90% dari infeksi vagina dalam dua minggu atau kurang (biasanya hanya dalam beberapa hari), tergantung pada jenis peradangannya. Infeksi vagina yang tidak diobati dapat berlangsung bertahun-tahun, dengan atau tanpa gejala (Harvard Medical School, 2006). Apabila terjadi infeksi berulang, hubungi dokter. Sekitar 5 % wanita terkena infeksi jamur vagina empat kali atau lebih setiap tahun. Hal ini disebut Recurrent Vulvovaginal Candidiasis (RVVC). RVVC umum terjadi pada wanita dengan diabetes atau sistem imun yang lemah. Normalnya, hal ini diatasi dengan obat antijamur selama sampai enam bulan (Medic8® Family Health Guide, 2007).
UPAYA PENCEGAHAN
Upaya Pencegahan Primer. Karena Candidosis vagina dapat ditularkan melalui hubungan seksual, penyebaran infeksi ini dapat dicegah dengan cara tidak berhubungan seksual atau hanya berhubungan seksual dengan satu pasangan yang tidak terinfeksi. Di samping itu, penderita pria juga dapat menggunkaan kondom lateks selama hubungan seksual, dengan atau tanpa spermatisida. Pencegahan terjangkitnya Candidosis Vagina, dapat dilakukan dengan menjaga area sekitar genitalia bersih dan kering. Hindari sabun yang dapat menyebabkan iritasi, vagina spray, dan semprotan air. Ganti pembalut secara teratur. Gunakan pakaian dalam dari katun yang longgar dan menyerap keringat, hindari pakaian dalam dari nilon. Setelah berenang, cepat ganti pakaian yang kering daripada duduk dengan pakaian renang yang basah dalam waktu yang lama (Harvard Medical School, 2006).
Upaya Pencegahan Sekunder. Setelah pasien menjelaskan gejala-gejala yang timbul, dokter akan melakukan pemeriksaan ginekologi dan memeriksa organ genitalia eksterna, vagina, dan cervix untuk melihat adanya inflamasi atau ekskret abnormal. Seseorang akan dinyatakan suspect Candidosis Vagina bila terjadi inflamasi pada vagina, terdapat ekskret putih dari vagina, dan di sekeliling vagina. Dokter mungkin akan mengambil sampel ekskret vagina untuk diperiksa dengan mikroskop di laboratorium. Candidosis Vagina dapat diatasi dengan obat antijamur yang bekerja secara langsung pada vagina sebagai tablet, krim, salep, atau suppositoria. Obat-obatan ini termasuk butoconazole (FemStat), clotrimazole (Clotrimaderm, Canesten), miconazole (Monistat, Monazole, Micozole), nystatin (sold under several brand names), tioconazole (GyneCure) and terconazole (Terazole). Oral fluconazole (Diflucan Oral) juga dapat digunakan dalam dosis ringan.pengobatan pada pasangan seksual biasanya tidak direkomendasikan (Harvard Medical School, 2006). Tujuan terapi adalah untuk mengurangi jumlah organisme jamur dan melindungi jaringan vulva sehingga menggaruk dan menggosok tidak akan merusak kulit dan menyebabkan infeksi bakteri perineal sekunder. Gejala terbakarnya vulva karena alkohol dan produk toksik yang dimetabolis oleh jamur dari karbohidrat tubuh. Butoconazole (Femstat®, Mycelex ) intravaginal untuk 3 hari adalah salah satu pilihan obatnya. Banyak spesies jamur yang tahan terhadap bermacam-macam perawatan topis dan Butoconazole lebih direkomendasikan berdasarkan beberapa pembelajaran lebih lanjut. Topical imidazoles cocok untuk jamur vagina, Butoconazole dan itraconazole memiliki aktivitas terbaik dalam tes pipet melawan bermacam-macam jamur dan organisme fungi yang lain. T. glabrata dan S. cerevisiae lebih resisten terhadap clotrimazole and ketoconazole, sedangkan C. krusei lebih resisten terhadap nystatin and flucytosine. Terconazole (Terazole®) umumnya menggunakan resep terapi jika terapi awal tidak bekerja. Ini lebih efektif daripada fluconazole (Diflucan®) untuk banyak spesies. Asam Borat vaginal suppositoria yang digunakan 600 mg/hari untuk 10 hari 80% efektif untuk C. glabrata yang telah resisten terhadap terapi standar lainnya. Terapi minyak esensial dapat juga digunakan untuk terapi jamur vagina. Minyak pohon teh terbukti efektif melawan jamur dalam konsentrasi 0.5%-2% (Medic8® Family Health Guide, 2007).
Upaya Pencegahan Tersier. Pencegahan tersier bertujuan untuk mengembalikan fungsi mental, fisik, dan sosial penderita setelah proses penyakitnya dihentikan. Upaya ini dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

• Tidak memakai pakaian dalam berbahan nilon yang menyebabkan daerah genitalia menjadi lembab dan meningkatkan resiko infeksi berulang.
• Menjaga pola makan sesuai dengan standar kesehatan untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
• Menjaga kebersihan individu dan lingkungan untuk mencegah pertumbuhan jamur yang dapat menyebabkan infeksi.
• Melatih masyarakat yang pernah terjangkit Candidosis Vagina untuk terbiasa berperilaku hidup sehat.
• Terapi mental dan sosial (Harvard Medical School, 2006).

Jamur vagina dapat bersifat lembam tanpa gejala apapun. Kadang-kadang infeksi jamur ini hilang, tetapi hal ini selalu membutuhkan terapi singkat untuk mengurangi jumlah jamur yang ada. Ini mungkin pengaruh dari pembersihan cairan vagina. Karena gejala terbakar dapat timbul sangat hebat, tidak ada yang mempelajari berapa lama rangkaian alami dari candidosis vagina. Biasanya tidak terjadi infeksi jamur sekaligus bacterial vaginosis, tetapi kadang-kadang terjadi dengan infeksi bacterial vaginosis berulang. Infeksi jamur vagina selama kehamilan tidak dikaitkan dengan preterm labor (Medic8® Family Health Guide, 2007).

Daftar Pustaka :

Senin, 22 Oktober 2012

Cuka


Cuka merupakan salah satu gugus asam karboksilat yang paling sederhana. Cuka atau yang mempunyai nama lain asam asetatasam etanoat atau asam cuka adalah senyawa kimia asam organik yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan. Asam cuka memiliki rumus empiris C2H4O2. Rumus ini seringkali ditulis dalam bentuk CH3-COOH, CH3COOH, atau CH3CO2HAsam asetat murni atau disebut juga asam asetat glasial adalahcairan higroskopis tak berwarna yang memiliki titik beku 16.7°C.
Cuka telah dikenal manusia sejak dahulu kala. Pada tahun 3000 SM dan 2000 SM diMesopotamia diperkirakan bahwa 40% dari total panen gandum digunakan untuk pemasakan bi dan pembuatan cuka. Di Mesir telah dikenal bahwa proses fermentasi yang menghasilkan alkohol jika diproses lebih lanjut dengan microorganisme berbeda akan menghasilkan asam cuka. Karena khasannya, kemudian cuka Mesir menjadi sangat disukai oleh bangsa Yunani (greek) dan Romawi. Orang-orang Babilonia memproduksi beberapa jenis cuka yang berbeda, termasuk yang terbuat dari getah palem, biji gandum dan kurma yang merupakan bahan mentah yang digunakan dalam pembuatan cuka sekarang.
Manfaat cuka sangat banyak. Selain sebagai pemberi rasa dan aroma pada masakan, cuka juga dapat digunakan sebagai bahan pengawet, antiseptik, desinfecktan dan obat-obatan. Sebagai obat cuka dapat menurunkan kolesterol, kontrol diet, dan kontrol gula darah pada penderita diabetes.
Cuka mempunyai banyak jenis. Berikut ini adalah beberapa jenis-jenis cuka yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari:
JENIS-JENIS CUKA
  • Cuka Anggur Merah: itu telah digunakan selama berabad-abad baik untuk tujuan pengobatan dan kuliner. Hal ini digunakan di seluruh dunia, terutama di negara-negara Mediterania, di berbagai resep, dan juga sebagai agen acar untuk buah-buahan dan sayuran. warnanya dapat bervariasi dari cahaya naik menjadi merah tua dan kandungan asam yang dapat bervariasi dari 5 untuk 7%.
  • Cuka Anggur putih: jenis cuka yang ringan beraroma dan digunakan untuk memasak. Ini juga merupakan dasar yang baik untuk membuat cuka diresapi dengan berbagai ramuan, rempah-rempah atau buah-buahan. warnanya dapat bervariasi dari putih menjadi emas pucat dan memiliki kandungan asam sama seperti cuka anggur merah, yang berarti itu bervariasi dari 5 untuk 7%.
  • Cuka putih: tidak seperti cuka anggur putih, yang dibuat dari anggur, cuka putih disuling dari alkohol. Cuka putih ini mempunyai 5% tingkat keasaman. Jadi cuka ini keras dan memiliki rasa tajam. Cuka jenis ini lebih murah dibandingkan jenis cuka lainnya dan dapat ditemukan di toko-toko kelontong. Cuka putih ini adalah cuka yang paling banyak diproduksi setiap tahun sesuai dengan kbutuhannya yang setiap tahun mengalami peningkatan sejalan dengan meningkatnya industri.
MACAM-MACAM CUKA BERDASARKAN METODE FERMENTASINYA:
  1. Slow fermentation, adalah pembuatan cuka dengan metode tradisional. Pada metode ini fermentasi biasanya dilakukan pada tong-tong lalu difermentasi dalama waktu yang cukup lama yaitu minimal 3 bulan, bahkan sampai bertahun-tahun. Bahan yang akan dibuat dihancurkan terlebih dahulu lalu di fermentasi dalam tong-tong. Flavor dari cuka dengan slow fermentation lebih kaya dan enak.
  2. Fast Fermentation, biasanya dikenal sebagai fermentasi modern. Pada pembuatannya menggunakan kultur murni. Waktu fermentasi juga lebih cepat yaitu dalam hitungan hari. Flavornya lebih spesifik asam asetat karena mikroba yang digunakan hanya tertentu saja.
MACAM-MACAM CUKA BERDASARKAN BAHAN BAKUNYA
  1. Malt Vinegar, cuka yan terbuat dari gandum dan barley yang dikecambahkan. Cuka ini menyebabkan pati dalam biji berubah menjadi maltosa. Maltosa di peram untuk mendapatkan alkohol setelah itu diubah menjadi cuka. Cuka ini berwarna coklat bening.
  2. White Wine Vinegar, biasanya juga disebut sebagai spirit vinegar. Bahan bakunya adalah alkohol yang dioksidasi. Kebanyakan white vinegar merupakan larutan 5% asam asetat. Warna yang dihasilkan putih bening. Biasanya dibuat dari biji-bijian (jagung) dan air.digunakan dalam pembuatan pickle dan juga digunakan sebagai bahan sanitasi.
  3. Wine Vinegar,  terbuat dari wine putih dan wine merah. Kualitas wine vinegar yang lebih baik dimatangkan dalam tong kayu selama 2 tahun dan menghasikan flavor yang kompleks. Wine Vinegar mempunyai keasaman yang lebih rendah daripada cider vinegar.
  4. Balsamic Vinegar, berasal dari Modena Italy dan merupakan pembuatan cuka tradisional. Cuka ini terbuat anggur putih varietas Trebbiano. Anggur ini dibuat jus pekat lalu difermentasi pada tong kayu selama 3-12 tahun. Warna cuka ini coklat tua dan rasanya kaya, manis dan kompleks.
  5. Apple Cider Vinegar, vuka ini terbuat dari sari buah apel, atau bisa juga ampas dari jus apel. Warna cuka ini adalah coklat kekuningan. Mengandung starter alami dari cuka.
  6. Fruit Vinegar, cuka ini dibuat dari berbagai macam buah-buahan yang mengandung gula tinggi. Pada cuka ini tidak diperlukan penambahan flavor karena menghasilkan flavor sesuai dengan jenis buah yang digunakan. Flavor umum yang biasa digunakan untuk cuka buah adalah apel, black current, raspberry, dan tomat
  7. Cuka Kesemek, cuka ini berasal dari korea. Sesuai dengan namanya cuka ini dibuat dari buah kesemek. Biasanya digunakan sebagai bahan tambahan makanan pada makanan raja. Lama Fermentasinya selama 3 bulan, jika diinginkan flavor yang lebih enak fermentasi dilakukan lebih dari 6 bulan dan fermentasi dilakukan dengan pemeraman.
  8. Rice Vinegar, cuka ini banyak dibuat di Asia Timur dan Asia Tenggara. Berasal dari beras. Warnanya kuning, merah dan hitam.
  9. Palm Vinegar, berasal dari filipina. Terbuat dari getah buah nipa muda yang dikumpulkan selama beberapa hari. Rasanya lebih lembut dan warnanya putih keruh.
  10. Coconut Vinegar, cuka ini juga berasal dari filipina. Terbuat dari air kelapa. Rasanya asam dengan sedikit rasa “slightly yeasty”. Biasa digunakan dalam makanan india dan asia tenggara.. Berwarna putih keruh
  11. Honey Vinegar, banyak dibuat di Italia. Terbuat dari madu. Cuka ini masih jarang dibuat
  12. Cane Vinegar, terbuat dari jus gula tebu dan sangat populer di daerah ilocoos, filipina utara. Warnanya kuning gelap sampai coklat emas.
  13. Beer Vinegar, banyak diproduksi di jerman, Austria dan belanda. Flavor tergantung tipe bir yang digunakan
  14. Chinese Black Vinegar, terbuat dari beras, gandum, Mollet, sorgum atau kombinasi dari semuanya. Memiliki warna hitam pekat seperti tinta. Dan rasanya seperti gandum. Berasal dari China.

Daftar Pustaka :